Dulu, saat Presiden Soeharto berkuasa, aksi premanisme sempat marak terjadi di era 1980-an. Saat itu penduduk Jakarta gelisah jika bepergian keluar rumah (Foto cover: Presiden Soeharto, ilustrasi petrus & korban petrus).
Sebab, para preman saat itu dengan nekat memeras dan melakukan aksi kejahatan kepada warga. Gerah atas aksi para preman, penguasa Orde Baru itu kemudian menginstruksikan dilakukannya sebuah operasi keamanan untuk membasmi para preman.
Tak berapa lama, jasad para preman kerap ditemukan tak bernyawa akibat ditembak secara misterius. Konon kabarnya, ribuan pria bertato yang diduga preman tewas karena ditembak.
Meski pada awalnya pihak penguasa membantah telah memerintahkan aksi penembakan itu, Presiden Soeharto akhirnya mengakui tindakan tegas dengan jalan kekerasan terhadap para pelaku kejahatan harus dilakukan sebagai sebuah treatment therapy.
Mantan Pangkostrad itu bahkan menyatakan, tindakan tegas dengan cara ditembak suka tidak suka harus dilakukan kepada pelaku kejahatan yang melawan.
"Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan tersebut," kata Pak Harto dalam buku otobiografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya seperti dipaparkan kepada: G. Dwipayana dan Ramadhan KH terbitan PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1988. Hal ini dituturkan dalam bab "Yang Disebut Petrus dan Hukuman Mati."
Meski operasi keamanan itu tergolong sadis, aksi premanisme di Jakarta saat itu cenderung menurun. Bahkan, tak sedikit masyarakat yang mendukung langkah pemberantasan preman itu.
Masyarakat yang sebelumnya takut keluar rumah, kembali menjalankan aktivitasnya tanpa takut diganggu para preman.
Petrus di Kota Bandung
Awal periode 1980an, kejahatan merajalela di Kota-Kota Besar di Indonesia. Para preman tak takut lagi memeras, membunuh dan memperkosa. Warga ketakutan dan tak berdaya menghadapi para preman itu.
Kota Bandung salah satunya. Para preman dengan enaknya meminta uang di pasar dan terminal.
Namun tiba-tiba, mayat-mayat ditemukan bergelimpangan. Sebagian ditembak di kepala. Sebagian ditemukan dengan mata melotot karena tewas dengan leher terjerat. Mayat-mayat itu tak disembunyikan. Sengaja dibuang di tengah keramaian supaya orang-orang lihat.
Warga mengenali orang-orang ini sebagai preman dan penjahat yang bikin resah. Menyebarlah teror itu. Para eksekutor disebut Petrus atau Penembak Misterius, sementara korbannya disebut Matius atau Mati Misterius.
Bisik-bisik terdengar di seantero Kota. Pria-pria berbadan tegap naik jip menjemput paksa satu demi satu targetnya. Yang naik ke jip itu dipastikan mati. Sampai-sampai jip kanvas identik dengan operasi Petrus.
Para preman dan penjahat ketakutan. Ada yang lari sampai masuk hutan menghindari kejaran petrus. Baru berani kembali beberapa tahun kemudian.
"Orang-orang bertato ketakutan. Dulu pemilik tato dianggap sebagai penjahat. Banyak yang menyetrika kulit mereka supaya tatonya hilang. Sakit sekali memang, tapi daripada mati dijerat Petrus," kata seorang warga Bandung yang dulu sempat merasakan era Petrus.
Hendra (60) mengakui setelah Petrus beraksi, Terminal Kebon Kalapa yang dulu penuh preman benar-benar sepi. Entah kemana perginya semua preman itu.
"Saya ingat dulu ada perempuan botak ditato hampir diseluruh tubuh. Setelah ramai-ramai petrus, tak pernah terlihat lagi," katanya.
Teka-teki Petrus akhirnya diungkap sendiri oleh Presiden Soeharto. Presiden Soeharto secara terbuka mengakui petrus memang dibuat untuk membuat para penjahat takut.
Soeharto muak
Soeharto muak melihat orang tua dirampok lalu dibunuh. Ada juga istri dirampok dan diperkosa di depan suaminya.
"Itu sudah keterlaluan! Apa hal itu mau didiamkan saja? Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan ya, mau tidak mau ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak," kata Soeharto dalam buku biografinya yang ditulis Ramadhan KH dan G Dwipayana.
Lalu untuk shock theraphy, sengaja mayatnya dibuang agar jadi tontonan dan membuat preman lain keder.
"Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan ini dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas kemanusiaan itu," beber Soeharto.
Petrus terbukti efektif meredakan kejahatan para preman itu.
Komnas HAM mencatat ada 2.000 korban selama petrus gentayangan. Sumber lain menyebut korban petrus mencapai 10.000 orang. Tahun 2012, Komnas HAM menyimpulkan petrus adalah pelanggaran HAM berat.
Sumber: merdeka